Kisah Perjuangan Di Tengah Masyarakat Multikultural

Angkringan Warta on Friday, February 22, 2013


Kisah Perjuangan Di Tengah Masyarakat Multikultural


Judul            : Gadis Pakarena
Penulis          : Krisna Pabichara
Penyunting   : Salahuddien Gz
Penerbit        : DolphinJakarta
Cetakan        : I, 2012
Tebal            : 250 Halaman
ISBN            : 978-979-17998-6-7

Kebudayaan merupakan hasil karya, cipta dan karsa manusia. Budaya memberikan warna yang beragam bagi kehidupan manusia. Tapi ketika hasil karya, cipta dan karsa itu dilandasi oleh  sifat kelaki-lakian, maka lahirlah budaya patriarkhi.
Jika boleh kita bagi, budaya itu ada yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanistik) dan tidak. Budaya yang yang perlu diperhatikan adalah budaya yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan justru budaya yang mengesampingkan keadilan, kesetaraan dan penghargaan atas hak orang lain.
Akibat kuatnya budaya patriarkhi, perempuan selalu menjadi objek pemarginalan, penghukuman dan diskriminasi. Dengan bentuk demikian, dalam prakteknya terdapat unsur kelaki-lakian yang lebih menonjol pada beberapa tradisi di Indonesia.
Gadis Pakarena mengeksplorasi bentuk-bentuk itu dalam setting budaya Bugis di Makassar. Kisah-kisahnya sangat mengagumkan sekaligus mengharukan. Di dalamnya juga kaya dengan analisis fenomena sosial terkait tradisi, seksualitas dan perempuan.
Buku ini terdiri atas empat belas kisah. Kisah di awali dengan kisah laduka, gadis pakarena, arajang, mengawini ibu, rumah panggun di kaki bukit, sampai pada hati perempuan sunyi dan riwayat tiga layar.
Bagian pertama berkisah tentang seorang pemuda yang menikah di usia muda (nikah dini). Perjuangan untuk memberikan nafkah sang istri tercinta pun kandas di tengah jalan. Laduka tidak ingin kembali sebelum mendapatkan uang untuk acara sunatan anaknya. Dalam perjalanan pulang dari tempat perantauan, Laduka mengalami kecelakaan.
Perjuangan Laduka itu didasari atas filosofi orang Bugis “kualleangi tallanga na towaliya” (lebih baik karam di tangah laut dari pada pulang bertangan hampa). Filosofi ini menggambarkan orang Bugis mempunyai karakter kuat dan pantang menyerah.
Bagian “Gadis Pakarena,” menceritakan tentang percintaan lintas etnis dan suku. Pemuda pribumi Makasar yang jatuh cinta dengan Kim Mei yang merupakan keturunan Tionghoa.
Keluarga pemuda Makasar itu sangat memegang adat istiadat. Sehingga percintaannya pun tidak mendapatkan restu dari kedua belah keluarga. Karena di antara keluarga mereka saling ‘bermusuhan’. Pada akhirnya Mei pun dibawa pindah oleh keluarganya ke Jakarta.
Cinta memang tak dapat dipaksakan. Tapi ketika cinta itu bersemi juga tak dapat dicegah oleh siapapun dan ditolak oleh apapun. Begitu juga saat cinta itu hadir dalam atmosfir ras, suku, agama, dan adat yang berbeda. Pemuda Makasar itu lebih memilih cinta dari pada tradisi yang abai meletakkan manusia pada tempat yang sesungguhnya. (hal. 26).
Kisah ini diakhir dengan kabar duka, meninggalnya Mei akibat diperkosa. Mei merupakan gadis yang pandai menyajikan tarian khas Makasar, Pakarena. Sehingga kekasihnya menyebutnya sebagai gadis pakarena.
Pernikahan lintas suku memang menjadi momok bagi sebagian orang di Indonesia. Apalagi pernikahan lintas agama. Pasti akan menimbulkan reaksi dan penolakan yang sangat besar.
Setiap etnis atau suku memiliki hukum adat yang berbeda. Dan hal itu harus diikuti sekalipun tidak sesuai dengan kehendak kita. Salah satunya dalam bentuk larangan nikah lintas suku atau etnis. Sebagian penganut agama tertentu juga memiliki aturan mengenai nikah lintas agama yang didasarkan atas doktrinasi Kitab Suci. Tapi itulah keunikan dan kelebihan masyarakat Indonesia.
“Arajang” berkisah tentang calabai, yakni laki-laki yang menyerupai perempuan. Kisah ini bermula saat anak yang dijuluki tu masagala itu memiliki ‘kelebihan’. Dengan kelebihan-kelebihan itu sampai ayahnya berkata, “kamu memang lelaki paling hebat, nak. Ayah sangat bangga kepadamu.” (hal. 40).
Akhirnya dia pun mengalami pengusiran dari keluarga, terutama dari sang ayah. Dirinya dilarang kembali ke rumah sebelum menjadi laki-laki. Itulah kata terakhir yang dia dapatkan dari ayahnya tercinta.
Saat mengalami keputusasaan, dia merasakan adanya ‘tarikan’ spiritual. Tarikan itu membawa dirinya pada keputusan untuk menjadi Bissu. Bissu adalah kaum pendeta yang tidak mempunyai golongan gender. Bissu tidak mengenal gender laki-laki maupun perempuan.
 Kisah yang mengharukan sekaligus memilukan. Budaya kelaki-lakian (patriakhi) memaksa seseorang berkarakter sesuai dengan jenis kelaminnya. Kalau laki-lakia harus ‘jantan’, sedangkan perempuan harus kemayu, dan sebagainya.
Apabila ada laki-laki yang menyerupai sifat seperti perempuan akan mengalami stigma dan diskriminasi. Baik itu dari pihak keluarganya sendiri maupun masyarakat sekitar.
Kisah berjudul “Mengawini Ibu”, menceritakan perilaku suami yang tak tau diri. Sisi lain menggambarkan seorang istri yang sabar sampai akhir hayatnya. Perselingkuhan demi perselingkuhan dilakukannya dengan tanpa menghiraukan istrinya. Gambaran seorang suami yang tidak memiliki ‘rasa’ betapa sakitnya dikhianati.
Sang istri yang begitu setia dan sabar menerima semua perlakuan suaminya yang mementingkan hawa nafsunya. Terlebih setelah ia tak dapat memenuhi ‘amarah’ bathiniyah suaminya. Sosok istri sekaligus ibu yang sangat tegar menghadapi setiap cobaan yang menimpanya.
Kisah-kisah dalam kumpulan cerpen ini menyuguhkan horizon kehidupan yang tak terduga. Banyak ragam kehidupan dan permasalahan sosial dan gender terungkap di dalam buku yang diterbitkan kembali oleh penerbit Dolphin. Dengan membacanya akan memberikan kita inklusifitas dalam memandang fenomena kehidupan.
Makna yang terkandung dalam buku ini juga menjadi curhatan sekaligus kritikan. Keprihatinan terhadap kondisi bangsa dan negara yang tidak kunjung memberikan penyelesaian atas problem-problem sosial.
Dengan demikian, melalui karyanya ini, Krisna Pabichara ingin mengajak kita untuk berfikir secara kritis terkait kebudayaan. Menjadikan budaya sebagai identitas kebangsaan. Di sisi lain,  kita harus meninggalkan budaya yang mengesampingkan aspkek kemanusiaan dan keadilan.

Komentar