Angkringanwarta.com on Friday, November 29, 2013 | 23:48
Penulis : Wisnu
Brata
Penerbit : Indonesia
Berdikari
Tahun : 2012
Tebal : VIII + 138
ISBN : 978-602-99292-5-6
Tembakau merupakan tanaman
yang mampu bertahan tetap hijau, bahkan semakin membaik mutunya saat kemarau
tiba. Salah satu produk yang dihasilkan dari tanaman yang memiliki nama latin nicotiana tabacum ini adalah kretek.
Rokok
kretek murni terlahir dalam rahim masyarakat pribumi. Tidak heran jika
dikatakan bahwa kretek adalah bagian dari budaya Nusantara. Sehingga sudah
mendarah daging dalam masyarakat pribumi.
Beberapa
bulan yang lalu tembakau menjadi sorotan
serius.
Media nasional banyak membicarakan tembakau dari
masalah kesehatan sampai pada permasalahan perekonomian petani tembakau. Pembicaraan itu terkait dengan beberapa undang-undang
yang berkaitan dengan tembakau.
Pemberlakuan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012
tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau
bagi kesehatan menimbulkan pro dan
kontra. Mereka
yang mendukung pemberlakuan itu beralasan bahwa rokok itu merusak kesehatan. Masalah
perekonomian para petani juga tembakau juga menjadi sorotan para pengkritik rokok.
Namun, bagi para petani
tembakau UU itu
jelas-jelas sangat merugikan mereka. Mereka merasa dimiskinkan dengan
pemberlakukan UU tersebut. Karena membatasi penjualan tembakau (lokal), dan hanya menguntungkan pihak asing
(tembakau impor). Penerapan ratifikasi kerangka kerja pengendalian tembakau
atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) juga menjadi
bumerang bagi para petani tembakau. Alasannya, ratifikasi tersebut dapat mengancam
industri rokok rumahan. Pasalnya, ratifikasi memaksa petani tembakau dan pelaku
industri kelas menengah untuk melakukan standarisasi produk tembakau.
Kehadiran
buku
ini hendak menawarkan
pembacaan tembakau dari penghayatan petani tembakau sendiri. Sebagai salah satu
petani tembakau, Wisnu Brata, merasa perlu mengklarifikasi isu yang berkembang
terkait tembakau dan petani tembakau. Hal ini dilakukan bukan demi tembakau,
tetapi, demi hidup kami sendiri, para petani tembakau.
Sarjana Ekonomi ini melakukan
kajian dengan menyibakkan fakta terkait isu miring tembakau. Di antara data itu,
dia peroleh dari para petani tembakau di sekitar tiga gunung Jawa Tengah, yakni
Sumbing-Sindoro-Prau, khususnya wilayah Temanggung. Upaya itu dia lakukan agar
memperoleh data yang akurat dan tepat. Selain itu, Brata juga mengalami sendiri
kehidupan sebagai petani tembakau.
Dengan adanya perundang-undangan
antitembakau yang akan terpapar lebih parah oleh produk itu adalah
pabrik-pabrik rokok lokal dan petani tembakau setempat (halaman 52). Karena
tembakau lokal memiliki kandungan nikotin dan tar yang cukup tinggi, sehingga
tidak memenuhi persyaratan yang termuat dalam undang-undang tersebut. Akhirnya,
para produsen rokok akan menggunakan tembakau impor yang memiliki kadar nikotin
sesuai dengan batas yang telah ditentukan.
Tembakau: Tanaman Wali
Bagian pertama buku ini menguraikan
tentang asal-usul tembakau. Para petani tembakau di sekitar Tiga Gunung di Jawa
Tengah itu meyakini bahwa tembakau berasal dari salah satu Wali Sembilan (Wali
Songo) di Nusantara, yakni Sunan Kudus. Oleh karenanya, para petani tembakau
selalu mengadakan prosesi selametan (halaman 4).
Hal itu tidak sertamerta
mereka meyakini sebagai mitologi semata. Tembakau merupakan tanaman yang sangat
penting bagi masyarakat sekitar tiga gunung itu. Tanaman ini akan semakin hijau
ketika kemarau terjadi. Selain nilai jual yang cukup stabil disbanding dengan
tata niaga yang lainnya. Wajar, jika para petani tembakau menolak untuk beralih
ke komoditas lain.
Padahal, pilihan petani
menanam tembakau mendapatkan perlindungan dalam UU No. 12 Tahun 1972. Pada
Pasal 6 dikatakan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan
jenis tanaman dan pembudidayaannya. Artinya, pemerintah tidak bisa memaksakan
kehendak kepada petani untuk mengganti tanaman tembakau ke jenis tanaman lain.
Jika memang mau dikatakan,
ditemukan keburukan dalam dunia pertembakauan Indonesia. Hal itu bukanlah
menunjukkan buruknya pertembakauan Indonesia, melainkan buruknya sektor
pertanian secara keseluruhan (halaman 123). Sepatutnya ini menjadi pembenahan
pertanian di Indonesia sebagai salah satu negeri agraria terbesar, bukan lantas
memberangus tembakau dengan komoditas lain.
Laskar
Kretek
Berbagai macam serangan
terhadap tembakau, dari kalangan ilmuwan sampai pemegang regulasi sangat
menyudutkan petani tembakau. Untuk itu diperlukan sebuah wadah yang dapat mempertahankan
dan membela para petani tembakau dengan membentuk “Laskar Kretek”. Laskar ini
sebagai sebuah bentuk perlawanan para pemuda petani tembakau dalam menghadapi
segala serangan yang ada.
Laskar Kretek adalah barisan
simpatik yang mengajak masyarakat untuk mencintai produk-produk Indonesia,
khususnya kretek. Mereka bergerak di lapangan untuk menghadapi berbagai bentuk
deskriminasi terhadap petani dan produk tembakau (halaman. 102). Sebagai wujud
nyata dari kedaulatan petani tembakau Indonesia, tembakau harus terus ditanam
dan kretek harus diselamatkan. Karena menurut Brata, dengan menyelamatkan
kretek sama artinya dengan menyelamatkan Indonesia.
Jika hendak turut
memperjuangkan agar nasib dan keuntungan petani lebih baik, Brata mengajak
masyarakat Indonesia bersama-sama petani tembakau untuk memperbaiki yang sudah
ada. Namun, jangan coba-coba membongkar, apalagi memberangusnya dan
mengkondisikannya, baik dengan halus maupun dengan kasar, agar petani berpaling
kepada tanam lain, itu tak bisa diterima (halama 46).
Buku
ini layak menjadi salah satu referensi bagi anda yang ingin mengetahui
permasalahan tembakau. Karena fakta-fakta yang tersaji di dalamnya adalah
berangkat dari realitas petani, termasuk penulisnya. Sehingga dapat memberikan
gambaran yang lebih objektif dan komprehensif terkait permasalahan tembakau.
Walaupun, tidak dapat dipungkiri, Brata cenderung mengesampingkan masalah
kesehatan yang diakibatkan oleh rokok.
Komentar