KAJIAN AL-QUR’AN PERSPEKTIF MOHAMMED ARKOUN



KAJIAN AL-QUR’AN PERSPEKTIF MOHAMMED ARKOUN
Judul Buku       : Antropologi Al-Qur’an
Penulis              : Baedhowi, M.Ag
Penerbit            : LKiS, Yogyakarta
Cetakan           : Pertama, Agustus 2009
Tebal                : xx + 256 Halaman
Peresensi          : Ahmad Suhendra*)

Sampai saat ini kajian Al-Qur’an masih banyak dilakukan oleh banyak kalangan intelektual muslim maupun non muslim di belahan dunia. Begitu juga, jika “menengok” ke belakang dapat ditemukan bermacam-macam karya para intelektual muslim yang mengulas perihal studi Al-Qur’an. Sebut saja kitab Al-Itqan karya pemikir besar al-Syuyuthi, Al-Burhan fi Ulumi Al-Qur’an karya al-Zarkasyi, dan Manahilu Al’irfan karya al-Zarqani. Karya-karya tersebut tidak hanya masyhur pada masanya, tetapi juga sampai saat ini karya-karya tersebut masih dijadikan sebagai salah satu referensi dalam studi Al-Qur’an.
Namun karya-karya yang sudah lama ada itu dirasakan masih banyak kekurangan, apalagi jika diterapkan dalam kontek kekinian. Sehingga memunculkan kegelisahan tersendiri bagi para intelektual muslim kontemporer. Sehingga mereka mencoba mengkaji ulang atas studi-studi Al-Qur’an yang sudah ada, maupun memberikan “materi” baru dalam studi Al-Qur’an. Mereka ingin mencairkan studi Al-Qur’an yang selama ini selalu dikekang dengan idiologis-politis tertentu. Hal ini menyebabkan pesan universal dalam Al-Qur’an tidak tersampaikan secara menyeluruh.

Beberapa tokoh kontemporer yang mencoba mengkaji ulang (melakukan pembaharuan) atas studi Al-Qur’an, diantaranya adalah Amin al-Khulli, intelektual Mesir yang melopori pendekatan susastra Al-Qur’an, menyatakan dalam sebuah karyanya, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab sastra terbesar (Kitab Al’Arabiyah Al-Akbar). Artinya sebelum melangkah pada studi Al-Qur’an lebih jauh, Al-Qur’an harus dianggap sebagai teks sastra suci. Dengan kata lain, seseorang harus menempuh metode pendekatan sastra, agar dapat memahami Al-Qur’an secara proporsional. 
Selanjutnya, Nasr Hamid Abu Zaid, dalam karyanya Mafhum Al-nash (diterjemahkan dengan judul Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, LKiS), yang menganggap Aqur’an sebagai sebuah teks yang dapat ditafsirkan secara beragam. Pemilihan kata teks yang merujuk pada Al-Qur’an dimaksudkan untuk menghindari konotasi teologis-mitis dalam studi Al-Qur’an. Dari beberapa tokoh diatas menunjukkan bahwa mereka memiliki tujuan yang mulia dalam mengembangkan Studi Al-Qur’an.
Buku berjudul Antropologi Al-Qur’an ini juga membahas suatu tawaran baru dalam khazanah keilmuan islam, terutama Studi Al-Qur’an. Kajian baru yang diberikan merupakan hasil pembacaan atas pemikiran Mohammed Arkoun, salah satu tokoh intelektual kontemporer terkemuka yang berwarganegara Aljazair. Arkoun merupakan guru besar pemikiran dan kebudayaan islam di Univesitas Sorbonne Nouvelle (Paris III), Prancis. Pemikiran-pemikiran segar yang dilontarkan Arkoun banyak dikaji dalam kalangan akademik. Pemikiran Arkoun juga begitu berpengaruh di lingkungan Perguruan Tinggi Indonesia, terutama Perguruan Tinggi Islam. Sehingga  penulis buku ini, Baedhowi, M.Ag,  mencoba untuk merangkai beberapa hasil pemikiran Arkoun dalam bingkai sebuah buku yang menakjubkan.
Kajian Al-Qur’an yang ditawarkan Arkoun merupakan hasil kolaborasi antara khazanah keilmuan yang sudah ada (konvensional) dengan alat analisis modern, terutama semiotika dan antropologi. Sebelum memulai pada persoalan kajian Al-Qur’an, penulis mengulas sosok Muhammed Arkoun yang dijadikan sebagai tokoh dalam buku ini. Pembahasan perihal kehidupan Arkoun dimulai dari kelahiran, sang tokoh sentral dalam buku ini,  sampai pada kancah karirnya dalam dunia akademik.
Arkoun sangat apresiatif memberikan perhatiannya pada pengetahuan bahasa. Hal ini disebabkan  tradisi dan kebudayaan yang membentuk pola berfikirnya. Sejak kecil Arkoun terbiasa menggunakan tiga bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, bahasa Kabilia; yang digunakan dalan kehidupan sehari-hari, kedua, bahasa Perancis; digunakan di sekolah dan urusan administratif, dan, ketiga, bahasa Arab; digunakan di lingkungan masjid dan urusan yang berkaitan dengan Islam (Halaman 4). Berpijak dari pengalamannya itu  tema-tema pemikiran Arkoun banyak terkait dengan bahasa. Arkoun terobsesi untuk menggabungkan bahasa dengan persoalan kemanusian. Karena selama ini ilmu kebahasaan belum menyentuh permasalahan-permasalahn manusia, yang ada malah berjalan masing-masing seolah tidak saling terkait. Sehingga Arkoun dalam hal ini menggunakan semiotika dan antropologi sebagai pendekatan untuk mengkaji Al-Qur’an. Hal ini juga disebabkan Al-Qur’an merupakan kitab primer yang mengandung simbol,  konsep, dan metafor dalam setiap untaian kata yang saling berkaitan.
Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya, yang meliputi : cara bagaimana ia berfungsi, hubungannya dengan tanda-tanda lain, serta bagaimana cara pengiriman dan penerimaannya. Dalam kaitannya dengan wahyu Ilahi, Allah adalah pengirim pesan, sementara manusia adalah penerima pesan, yang kalau direfleksikan akan sampai ke tanda-tanda kekuasaan Tuhan (halaman 186). Analisis Semiotika sangat bermanfaat untuk mengkaji teks-teks keagamaan, khususnya Al-Qur’an. Karena dengan semiotika dapat melihat makna teks secara global, selain juga dapat mengetahui keterkaitan antara teks yang satu dengan yang lain (munasabah al-ayat). Tokoh lain yang menggunakan semiotika sebagai alat analisis untuk mengkaji Al-Qur’an adalah Mahdi Ghulsyani. Namun perbedaannya terletak pada sasaran objeknya. Jika Mahdi Ghulsyani lebih pada ayat-ayat perihal fenomena alam, sedangkan Arkoun pada fenomena sosial keagamaan.
Selanjutnya yang menjadi perhatian Arkoun adalah disiplin antropologis. Penggunaan disiplin itu didasarkan adanya peralihan budaya lisan menjadi budaya tulis, kemudian “diakhiri” dengan pembukuan mushaf standar. Sejak masa Utsman bin Affan, tepatnya sejak adanya pemusnahan mushaf, selain mushaf utsmani, sampai sekarang Al-Qur’an telah menjadi korpus tertutup. Hal ini seolah-olah meniadakan adanya keragaman bacaan dan dialektika dalam Al-Qur’an. Selain itu, adanya cerita-cerita (qashas) dalam Al-Qur’an juga menjadi pertimbangan Arkoun menggunakan disiplin antropologi dalam kajiaannya.
Makna universal tidak akan tersalurkan jika penafsiran yang ada masih cenderung untuk mengikuti arus idiologi dn politik kekuasaan tertentu. Buku ini hadir dengan mengkaji pemikiran Arkoun atas berbagai persoalan keislaman serta pembacaan dan pemahaman Al-Qur’an. Sekaligus memperkenalkan metode dan model penafsiran Arkoun, yang ingin membebaskan wacana Islam dan wacana Qur’aniah dari belenggu-belenggu idiologis dan kepentingan-kepentingan politis.

*) Perensensi adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Komentar