SENDI PERADABAN DI MADINAH

http://media.kompasiana.com/buku/2011/07/20/resensi-buku-madinah-kota-peradaban/



SENDI PERADABAN DI MADINAH

Judul             : Ketika Nabi di Kota: Kisah Sehari-Hari Nabi di Madinah (Menata Sendi-Sendi Ekonomi, Sosial dan Politik)
Penulis           : Dr. Nizar Abazhah
Penerjemah   : Asy’ari Khatib
Penerbit         : Zaman, Jakarta
Cetakan        : I, 2010
Tebal             : 603 Halaman
ISBN            : 978-979-024-232-6

Suatu hari penduduk Yatsrib berkerumun di setiap sudut kota. Mereka sedang menanti kedatangan utusan Allah beserta rombangan. Kerumunan itu dipenuhi laki-laki, perempuan, orang tua renta sampai anak-anak.
Ketika salah satu warga melihat rombongan Nabi saw. tiba di tepi Yatsrib, serontak keramaian suara penyambutan pun bergelegar. Peristiwa bersejarah ini dikenal dengan nama hijrah, yang terjadi pada tahun 622 Masehi.

Nabi melakukan hijrah berkaitan dengan kondisi sosio-politik Mekkah. Keadaan itu tidak memungkinkan Nabi saw. untuk terus bermukim dan menyebarkan Islam di Mekkah. Dengan beberapa pertimbangan, Nabi saw. pun memilih Madinah sebagai wilayah transmigrasinya.
Madinah merupakan perkampungan yang terletak sebelah utara Mekkah. Secara geografis, Madinah cocok untuk pertanian. Kondisi itu berbeda dengan Mekkah yang kering dan gersang, sehingga tidak cocok untuk lahan pertanian. Daerah yang mulanya bernama Yatsrib ini sangat strategis untuk perdagangan karena terletak pada jalur rempah-rempah yang menghubungkan Yaman dan Suriah.
Oleh sebab itu masyarakat Madinah lebih memilih menetap dibanding nomaden (berpindah-pindah), seperti masyarakat Arab pada umumnya. Masyarakat Madinah memiliki struktur terdiri atas beragam etnis, suku, dan agama. Hal ini disebabkan penduduk yang ada di Madinah merupakan masyarakat urban dari berbagai kabilah.
Madinah menjadi pusat peradaban Islam yang cemerlang diantara imperium Persia dan Romawi. Sendi-sendi peradaban dirintis Nabi dengan membangun pusat ekonomi, spiritual dan pusat pemerintahan pun menjadi prioritas Nabi.
Madinah menjadi wilayah suci bagi umat Islam setelah Mekkah. Nabi saw. bersabda, Madinah adalah haram dari tempat ini hingga tempat ini, tidak boleh dipotong pepohonannya, tidak boleh dilakukan kejahatan di dalamnya. Barangsiapa melakukan kejahatan di dalamnya maka baginya laknat Allah, para melaikat dan seluruh manusia (HR. Imam al-Bukhari).
Nizar Abazhah mengajak kita untuk berwisata ke kota Madinah itu melalui fiksi yang dibalut dengan sejarah dengan apik. Abazhah menyuguhkan dengan cerita yang diambil dari sumber ‘aslinya’, yakni al-Qur’an dan Hadis. Maka, novel ini dapat dikatakan bukan fiksi belaka, tapi benar-benar sejarah peradaban Islam.
Kita diajak untuk menelusuri secara lengkap seluk-beluk kehidupan Nabi saw. di Madinah dengan alur yang sistematis. Dewasa ini belum banyak novel yang menguraikan kehidupan Nabi saw. secara khusus di Madinah dengan lengkap dan kritis seperti halnya dengan novel ini.
Untuk membangun sebuah peradaban, Nabi saw. banyak membangunan fasilitas umum. Misalnya, pusat perekonomian, hutan lindung, kebun, sumur, dan lembah-lembah. Nabi juga mengajarkan kepada masyarakat sekitar untuk hidup bersama tanpa membedakan tingkat dan status sosial.  
Aspek tidak kalah penting lainnya adalah ‘pembangunan’ sumber daya manusia. Nabi saw. ingin membangun tatanan masyarakat yang kukuh, memiliki solidaritas kuat dan hubungan sosial yang erat (hlm. 84).  Semua aspek pembangunan di Madinah dilandaskan pada nilai-nilai al-Qur’an dan Sunnah.
Untuk memperoleh bangunan masyarakat baru tersebut, Nabi menyususn asas-asas pedoman hidup. Yaitu asas persamaan hak dan kewajiban pada seluruh tingkat masyarakat dan harus dipenuhi oleh setiap individu sesuai kedudukan masing-masing (halaman 87).
Dalam sendi politik, Nabi menyusun asas-asas negara yang akan mengalahkan imperium Romawi. Dalam sendi ekonomi, Nabi menegakkan kejujuran dan ekonomi berbasis kerakyatan. Nabi juga menyusun asas-asas hukum yang adil. Untuk itu Nabi membentuk lembaga, semacam menteri, ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya. Nabi sendiri sebagai kepala negara di Madinah. Hampir semua peristiwa dan momen-momen bersejarah terekam secara apik dalam novel ini.
Tidak dapat diragukan buku ini memiliki keunggulan yang profetik. Buku ini tidak hanya cocok bagi peminat sastra, tetapi juga relevan bagi penggila sejarah. Walaupun, kekecewaan akan dirasakan oleh para pengagum sastra, karena kita tidak akan menemukan bahasa yang menjulang dengan rangkaian keindahan dan majaz-majaz yang menghiasi. Jadi, buku ini layak dibaca oleh semua kalangan.

*) Peresensi adalah Ahmad Suhendra, Alumni UIN Sunan Kalijaga.

Komentar