NU Online: Senin, 26/12/2011
MENUAI HIKMAH LEWAT
DONGENG
Judul : Pesantren
Dongeng: Melipur Hati, Menikmati Kisah, Mendulang Hikmah
Penulis : Awang
Surya
Penerbit : Zaman
Cetakan : I,
2011
Tebal : 224
Halaman
ISBN : 978-979-024-270-8
Saat
kecil, di antara kita mungkin sering atau pernah dibacakan dongeng sebelum
tidur oleh orang tua. Bahkan, mungkin dongeng itu masih tersimpan dalam telinga
kita sampai sekarang. Namun, anak-anak sekarang sudah jarang atau bahkan tidak
ada yang menikmati dongeng. Kemajuan teknologi membuat anak-anak terlena dengan
permainan produk kemajuan teknologi. Mungkin dongeng sudah dianggap kuno,
sehingga eksistensi dongeng dalam kancah dunia anak-anak sudah mulai terkikis.
Tradisi
dongeng yang sudah hampir terkikis tampaknya ingin dipopulerkan kembali oleh
penulis buku ini. Awang Surya menyodorkan sosok tokoh-tokoh yang lugu dan lucu.
Dari keluguan ketiga santri kiai Sholeh itu, justru yang membuat buku ini
menarik untuk dibaca. Keempat tokoh tersebut tinggal di suatu kampung yang
bernama Bulusari.
Di
dalam buku ini sebenarnya mbah Sholeh merupakan orang biasa. Dia bukan ustadz
apalagi kiai yang mempunyai beribu-ribu jamaah atau yang memiliki pesantren
dengan ratusan santri. Tapi mbah Sholeh hanya memiliki santri tiga orang yang
selalu hadir untuk shalat berjamaah dengannya. Dan untuk mendengarkan dongeng
yang diutarakan mbah Sholeh. Jadi yang memanggil kiai kepada laki-laki tua yang
hidup sendirian itu hanya tiga orang itu.
Untuk
menyampaikan pesan-pesan dongengnya, mbah Sholeh memiliki mushala di dekat
rumahnya sebagai tempat berdakwahnya. Terkadang warga kampung ikut berjamaah di
sana, tapi di waktu lain para warga berjamaah di masjid desa Bulusari. Di
mushala kecil itulah para santri mengaji kepada mbah Sholeh. Pengjian yang
diajarkanpun bukan ngaji sharaf, nahwu, bahasa Arab-Inggris, fiqh, ataupun
kitab kuning seperti halnya pesantren. Tiga santri itu hanya mendengarkan
dongeng yang disampaikan mbah Sholeh.
Para
santri khusyu’ mendengarkan dongeng setiap selepas shalat magrib. Ketika mbah
Shaleh merasa perlu menyampaikan dongeng kepada para santrinya maka pengajian
dongeng dilaksanakan setelah shalat selain waktu biasanya. Di tengah asyiknya
melantunkan dongeng, para santri terkadang bertengkar saling beradu omong
atau bahkan saling meledek, terutama Sarimin yakni salah satu santri yang
paling ngeyel.
Satu
hal yang mungkin agak mengganjal ketika membaca buku ini adalah cerita yang
terpotong-potong. Walaupun demikian, penulisnya bermaksud mengedepankan dongeng
dibandingkan dengan kisah keempat tokoh yang ada dalam bukunya.
Di
antara kita mungkin mengira dongeng merupakan cerita fiktif atau mitos belaka.
Namun, dibalik itu terdapat segudang pelajaran atau hikmah yang ada di dalamnya.
Begitu juga dengan dongeng-dongeng yang dituangkan oleh Surya. Penyuguhan
dongeng yang tak lepas dari aktivitas keseharian dalam bermasyarakat maupun
bernegara. Pembaca diajak memahami hidup, dan menuai banyak hikmah yang harus
direalisasikan dalam dongeng yang penuh inspiratif ini.
Buku
karya Awang Surya ini memberikan percikan energi kehidupan yang diselingi
dengan humor, sehingga pesantren dongeng ini tidak terkesan menggurui. Di aspek
lain, secara tidak langsung karya berjudul ‘Pesantren Dongeng’ ini mengajak
untuk menghidupkan dan melestarikan dunia dongeng di belantara Nusantara.
Dengan demikian, buku ini layak dibaca oleh masyarakat luas, untuk semua usia.
Peresensi
adalah Ahmad Suhendra, alumni Fak. Ushuluddin UIN Suka Yogyakarta dan staf
pengajar PP. al-Kamiliyyah, tinggal di Bogor.
Komentar
:D