Judul : Pengantin Surga
Penulis : Nizami Ganjavi
Penerjemah : Ali Nur Zaman
Penyunting : Salahuddien Gz
Penerbit : Dolphin, Jakarta
Cetakan : I, Juli 2012
Tebal : 250 Halaman
ISBN : 978-979-17998-3-6
Ajaran hikmah para sufi memberikan
pengertian berbeda tentang romantika percintaan. Syair-syair romantik yang
dibalut dengan nilai-nilai spritualitas-religius khas sufistik memberikan nilai
lebih tersendiri.
Apabila cinta tidak ada, maka tidak ada
perdamaian di dunia ini. Apabila cinta hilang dari permukaan, maka tidak ada
rahmat Tuhan di sana. Hanya cinta sejati yang dapat memberikan energi kehidupan
yang penuh dengan romantika-religius. Seluruh tuntutan suci yang merujuk pada nilai-nilai
ke-Tuhanan pasti mengupas makna cinta (Zhaenal Fanani, 2011).
Pengantin surga adalah salah satu bentuk
interpretasi religius atas makna cinta. Pengantin surga merupakan terjemahan yang
kesekian kalinya atas salah satu karya Nizami Ganjavi sebagai karya sastra fenomenal.
Karya Nizami yang berkisah dua insan bernama, Layla dan Majnun.
Kisah ini bermula dari keinginan seorang
raja Bani Amir untuk memiliki anak. Usaha yang selama ini dilakukan pun belum
menunjukkan titik terang akan terlahirnya seorang bayi mungil dari rahim sang
istri. Di dalam keputusasaan itu, mereka memanjatkan doa dengan penuh
kepasrahan dan keikhlasan kepada Tuhan. Tidak berselang lama, Tuhan mengabulkan
hajat mereka. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak raja itu terlahir
sebagai anak yang tampan dan dicintai banyak orang. Tidak hanya itu, anak yang
diberi nama Qays itu memiliki kecerdasan yang sangat dikagumi masyarakat.
Suatu saat Qays bertemu dengan perempuan
dari keluarga terpandang bernama Layla. Layla digambarkan sebagai sosok
perempuan idaman semua laki-laki, dengan paras yang sarat dengan keromantikan.
Cinta Qays terhadap Layla terlalu bergelora
untuk dipadamkan dan terlalu kuat untuk dilepaskan. Dengan cintanya terhadap
Layla yang begitu bergejolak, Qays sering menyebut-nyebut nama Layla kapanpun
dan di manapun. Omongan-omongan yang dianggap ‘diluar’ dari kewajaran itu,
akhirnya masyarakat harus menyebutnya gila, dalam bahasa Arab disebut majnun.
Maka, karya atau kisah ini lebih populer disebut Layla-Majnun.
Inspirasi Karya Sastra (Romantik) Dunia
Karya Ganjavi ini mengajak para pembaca untuk
merenungi salah satu anugerah Tuhan, cinta. Pembahasan yang diuraikan pada
aspek bagaimana cinta digambarkan sebagai hasil ‘Maha Karya’ Tuhan. Cinta sejatinya
tidak datang dari hawa nafsu. Cinta lebih pada bentuk implementasi atas
penghambaan kepada Tuhan.
Karena cinta hakiki ada pada cinta
manusia (hamba) kepada Tuhannya. Hal ini dapat diimplementasikan dalam hidup
keberagamaan yang kontekstual-progresif. Dengan berpedoman pada nilai-nilai
universal ajaran agama, maka akan terlahir cinta kepada sesama manusia secara
umum maupun ‘khusus’, cinta kepada seluruh alam, dan cinta kepada Tuhan.
Hal ini terlihat dari pengorbanan cinta
Qays atas Layla yang sangat mendalam dan setia. Begitu juga dengan penantian
Layla yang tak kalah hebatnya. Bagaimana tidak, walaupun Layla menikah dengan
orang yang tidak ia cintai, ia masih menjaga ‘kesuciannya’. Dia persembahkan
hanya untuk Qays seorang. Salah satu nilai sufistiknya yang dapat dipelajari adalah
proses ‘kesetiaan’ dalam ber-Tuhan yang termakdum dalam ajaran agama.
Layla dan Majnun menjadi kisah yang tidak
hanya mengudara di atmosfir tanah Arab saja, tetapi tersebar ke semua pelosok
negeri. Bahkan, kisah ini menjadi karya sastra yang sangat digandrungi oleh
masyarakat sejak
tahun
1188 Masehi, tepatnya pada masa Dinasti Umayyah, dan kemungkinan sampai sekarang.
Sedikit-banyak karya Ganjavi ini menjadi
inspirator tokoh berikutnya dalam menguraikan syair-syair romantika, misalnya
Ibn ‘Arabi, Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran, dan William Shakespeace. Hal ini
tanpa alasan, apabila dilihat kembali kisah Romeo dan Juliet baru booming
pada abad ke-16 (sekitar tahun 1591-1595).
Di India terdapat kisah Shah Jahan
Arjumand Begum Bann pada abad ke-17. Karya sastra Inggris yang tak kalah
fenomenal juga dapat dilihat dalam Pride and Prejudice karya Jane Austen yang ditulis
pada tahun 1813. Di Bumi Pertiwi sendiri memiliki Siti Nurbaya yang
menjadi salah satu karya sastra Indonesia yang fenomenal. Karya ini mulai
muncul kepermukaan sastra Indonesia pada tahun 1922.
Kisah-kisah seperti di atas tentunya
tidak dipandang dari satu sudut pandang tentang percintaan remaja saja. Akan
tetapi, perlu sudut pandang yang beragam dalam melihat kisah-kisah romantis
seperti Layla dan Majnun. Hal ini dimaksudkan agar dapat membuka cakrawala nilai-nilai
kemanusiaan yang terkandung di dalamnya.
Dengan demikian, kisah Layla dan Majnun merupakan kisah yang mengubah mindset manusia tentang
pemaknaan atas cinta sejati. Karena kisah Layla dan Majnun tidak sebatas alur
romantika percintaan semata. Lebih dari itu, di dalamnya sarat dengan
nilai-nilai kehidupan, khas ajaran hikmah para sufi.
*) Peresensi adalah Ahmad Suhendra, Alumni Pondok Pesantren
Al-Kamiliyyah, Bekasi dan partisipan TBM Yayasan Kodama, Yogyakarta.
Tulisan ini pernah dimuat pada, Koran Bisnis Indonesia, No. 297, 26 Agustus 2012.
Komentar