Sketsa Perjuangan Ulama Perempuan dalam Menegakkan Kemanusiaan


Perempuan menjadi entitas yang selalu mendapatkan deskriminatif. Perempuan dalam lintasan sejarah mendapatkan stigma negatif dalam setiap masanya. Kondisi itu menjadi langgeng akibat dari mengakarnya budaya patriarkhi di kehidupan. Akibatnya, budaya yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan itu dianggap sebagai sebuah hal yang lumrah.

Kehadiran Islam adalah juga sejarah pembebasan manusia termasuk perempuan. perempuan menjadi salah satu kelompok masyarakat yang mendapatkan perhatian khusus oleh Islam karena penistaan yang mereka terima. Perlakuan buruk masa lalu menunjukkan perempuan tidak dianggap sebagai manusia. Namun, sejak awal kehadirannya Islam mengubah cara pandang dan cara memperlakukan perempuan secara manusiawi.
Penghargaan Islam atas perempuan ini memungkinkan peran aktif mereka dalam masyarakat. Ajaran Islam di satu sisi digunakan dalam memenuhi keadilan. Di sisi lain juga kerap disalahgunakan untuk melegitimasi ketidakadilan. Atas nama Islam sekelompok muslim meyakini dan mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender. Namun atas nama Islam pula sekelompok muslim lainnya menentangnya. Di sinilah kehadiran ulama perempuan menjadi sangat penting sebagaimana para shahabiyat pada masa Rasulallah, seperti ‘Aisyah dan Ummu Salamah. [1]
Begitu juga dengan budaya yang berkembang di suatu daerah lahirnya Islam. Budaya yang berkembang pada pra-Islam sangat patrialistik, budaya yang menganggap anak perempuan sebagai sebuah kerugian bagi kabilah atau sukunya. Diakui atau tidak, dengan masih kuatnya pengaruh budaya-budaya patrialistik tersebut, berimplikasi atau berpengaruh terhadap proses keagamaan yang merupakan bentuk implementasi dari penafsiran al-Qur’an dan Hadis yang bias gender. Konsekuensinya adalah kristalisasi dari semua itu menjadi ajaran keagamaan yang patrialistik.[2]
Dalam riwayat dari Ibnu Abbas, Umar bin Khattab seorang sahabat Rasulallah saw. Menuturkan perubahan sikap drastis atas perempuan yang diajarkan oleh Islam.
Artinya:
Dulu kami pada masa jahiliyyah tidak memperhitungkan perempuan sama sekali. Ketika Islam turun, dan Allah mengakui mereka kemudian kami memandang bahwa mereka pun memiliki hak atas kami yang otonom dan tidak bisa kami intervensi (HR. Al-Bukhari)
Perempuan terus berubah dari masa ke masa. Secara personal sebagai perempuan, mereka mengalami kemajuan. Di Indonesia telah memiliki sarjana perempuan cukup banyak, tidak sedikit pula mereka yang mampu menyelesaikan jenjang pendidikan formal. Tetapi peran mereka dalam kancah sosial keagamaan belum mendapatkan perhatian dari masyarakat secara serius. Sehingga kontribusi ulama perempuan yang sebenarnya memiliki implikasi substantif, terkubur oleh kuatnya badai budaya patriarkhi. Peran ulama dalam bidang keagamaan belum banyak yang melirik dengan serius. Padahal tidak sedikit perempuan yang bergelut dalam pembinaan masyarakat. Mereka tidak hanya melakukan ceramah dari satu pengajian ke pengajian lainnya, melainkan juga memiliki visi sosia dalam membangun peradaban manusia Indonesia seutuhnya.
Secara de jure tidak ada hambatan struktural bagi perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki. Secara de facto, banyak perempuan yang secara sukarela tidak dapat melepaskan faktor biologisnya. Walaupun demikian, faktor sukarela itu pun didasarkan dan dilatarbelakangi budaya dan keagamaan yang menuntut demikian. Islam secara ideal membuka kesempatan dan peran yang setara bagi laki-laki dan perempuan untuk berprestasi, dalam berbagai bidang kehidupan. [3]
Namun peran itu kalah saing atau sengaja dilenyapkan dengan ‘kuasa’ kelaki-lakian. Peran laki-laki dalam bidang sosial keagamaan memang sangat menonjol jika dibandingkan dengan perempuan. Sebab itu istilah Ulama sudah terdistorsi sehingga cenderung hanya ditujukan pada laki-laki. Padahal, Islam mengenal para periwayat hadis yang juga dari kalangan perempuan, di antara mereka adalah ‘Aisyah dan Ummu Salamah. Namun demikian, masih jarang dijumpai buku tentang profil dan best pracitce para ulama perempuan.
Kerisauan banyak kalangan terhadap “kalangan ulama” di Indonesia khususnya disinyalir karena konstruksi religio-sosiologis yang menitikberatkan pada konsep ulama yang bisa dibilang teralalu ekstrim. Namun, dalam konteks Indonesia, keahlian dalam bidang fiqh (hukum Islam) saja belum cukup bagi seseorang untuk diakui sebagai ulama. Terlebih bagi perempuan, tidak mudah menyandang status sebagai ulama. [4]
Dalam konteks Islam Indonesia, harus pula diakui, kesetaraan gender masih merupakan isu yang belum diterima secara luas di kalangan muslim. Kenyataan ini berkaitan dengan fakta bahwa perempuan tidak banyak terlibat dalam proses produksi dan reproduksi wacana sosial intelektual keagamaan.  Sejarah tentang ulama perempuan memang belum menjadi suatu sejarah yang terang benderang. Selama ini, kecenderungannya laki-laki masih mendominasi tradisi keulamaan atau keilmuan.
Kegelisahan itu yang ditangkap oleh Rahima yang kemudian ditindaklanjuti dengan penulisan para profil. Dalam konteks Indonesia. Kehadiran buku ini bisa menjadi jawaban atas kekurangan dan permasalahan di atas. Hal itu dimaksudkan untuk memfasilitasi peningkatan dan membangun tradisi keulamaan di kalangan perempuan. di dalamnya memuat 40 profil kader ulama perempuan yang mengikuti program pendidikan Ulama Perempuan dan Program Pendidikan Tokoh agama yang dilakukan Rahima.
Dengan bersumber dari data yang didapat melalui interview langsung dengan para kader, tulisan-tulisan dalam buku ini terbaca jujur, lugas dan dekat dengan pengalaman perempuan. buku ini merupakan catatan posistif bagi perkembangan kiprah perempuan muslim di Indonesia dalam konteks keagamaan.
Secara sosial, budaya, ekonomi, politik dan lainnya Indonesia sebetulnya lebih kondusif untuk membangun relasi gender yang sehat baik di dalam keluarga, masyarakat, maupun negara daripada di negara lain. Wacana Islam yang adil gender di Indonesia semakin hari semakin mudah ditemukan dalam karya-karya tulis yang bernafaskan agama mupun lainnya di Indonesia. Atmosfir ini merupakan lahan sosial yang bagus untuk menyemai munculnya ulama perempuan yang mumpuni dalam beragam keilmuan, memiliki sensitifitas gender yang tajam, penuli pada problem kemanusiaan di berbagai level kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama, dan penuh inisiatif untuk mengjak umat melakukan perubahan yang baik.[5]
Ulama perempuan dengan perspektif gender yang baik, akan mempertimbangkan pengalaman perempuan sebagai bagian dari upaya memahami ajaran Islam dan meyakini bahwa pemahaman Islam yang berakibat buruk pada perempuan sebagai pemahaman yang harus diinterpretasi ulang. Keulamaan perempuan menjadi penting karena diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung dan adanya kecenderungan besar untuk memahami Islam dengan mengabaikan spirit keadilan bagi perempuan. Di samping itu, keulamaan perempuan juga penting karena perempuan pada umumnya paham arti diskriminasi karena hampir setiap perempuan pernah mengalaminya dalam skala yang bermacam-macam.(xxxi)
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sesungguhnya diwarnai dengan banyak perempuan hebat yang mempunyai kesempatan belajar agama bahkan lahir dari masyarakat yang religius namun kritis terhadap tradisi yang melebahkan perempuan termasuk tradisi agama. Keulamaan perempuan telah dirintis sejak masa yang awal sekali di Indonesia. Gagasan ulama perempuan dalam perspektif Rahima adalah mereka yang mempunyai pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun lainnya, dan dengan pengetahuan tersebut mereka melakukan perubahan sosial dengan kemaslahatan manusia. Adapun ulama perempuan yang dirintis Rahim memiliki ciri-ciri sebagai berikut: [6]
1.      Menguasai teksteks keagamaan klasik dan kontemporer dengan perspektif keadilan gender Islam
2.      Mampu membaca realitas sosial dengan kritis (ketimpangan relasi, sttruktur yang menindas, budaya dan pemahaman keagamaan yang menindas)
3.      Mampu dan berani berargumentasi dan mengartikulasikan gagasan serta nilia-nilai keadilan dengan perspektif Islam, baik secara tulis maupun lisan.
4.      Mampu dan berani mendialogkan kepentingan masyarakat yang terpinggirkan kepada para pemangku kebijakan di lokal, nasional dan global.
5.      Memiliki penghargaan terhadap tradisi lokal (kearifan)
Visi kemaslahatan manusia dalam keulamaan perempuan di satu sisi dapat diartikan bahwa usaha mewujudkan kemaslahatan perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari usaha mewujudkan kamanusiaan. Namun dis sisi lain visi kemanusiaan ini juga dpat berarti berikut:[7]
1.      Kepemimpinan ulama perempuan tidak hanya untuk dapat otoritas dalam Islam tetapi menjawab persoalan kemanusiaan termasuk persoalan perempuan apapun agamanya.
2.      Kepemimpinan ulama perempuan tidak hanya untuk memperkuat diri dan jaringan tetapi bagaimana menolong siapapun yang menjadi korban ketidakadilan terutama perempuan.
3.      Kepemimpinan ulama perempuan tidak hanya untuk perempuan, tetapi untuk negara, bangsa dan peradaban dunia.
Profil ulama perempuan dalam buku ini terbagi menjadi empat, yakni PUPI 1, PUP 2, PUP 3, dn Tokoh Agama. PUP 1 memuat 14 nama ulama perempuan dari berbagai daerah di Indonesia  mereka adalah Afwah Mumtazah, Fatimah, Ida Mahmudah, Imas Masfuah, Lia Aliyah, Luluk Faridan, Najmatul Milla, Neng Hilma Nur Rohimah, Raihanah Faqih, Siti Ansyoriyah, Titi Siti Rohanah, Titik Rachmawati, dan Yulianti Muthmainnah.
Afwah Mumtaah merupakan seorang Nyai di Pondok Puteri Aisyah yang berada di lingkungan Pesantren Kempek, Cirebon. Afwah lahir sebagai anak ketiga dari pasangan KH. Amin dari Babakan dan Nyai Hj. Izzah Syatory dari Arjawinangun. Ia bersama sembilan saudaranya lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren Babakan, Cirebon. Perempuan kelahiran 39 tahun yang lalu ini kemudian menempuh jenjang Tsanawiyah di Pesantren Babakan. Setelah lulus, dirinya melanjutkan pesantren di Kudus, teapi karena model pendidikan di sana tidak cocok maka dia pindak ke Yogyakarta. Tepatnya mondok di Pesantren Hindun Annisa di bawah asuhan Ibu Nyai Hj. Durrotun Nafisah Ali. Kemudian melanjutkan ke Pondok Peantren BUQ Betengan di Demak untuk mengkhatamkan hapalan al-Qur’annya.
Untuk melanjutkan studinya, Afwah memilih IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis. Di tengah asyik dengan dunia kampus, Afwah diminta pulang oleh utusan dari Ayahandanya. Afwah tidak menyangka bahwa panggilan untuk pulang itu ternyata untuk menikahkan dirinya dengan Muhammad Nawawi Umar, anak Pakde-nya. Setelah menikah, Afwah pun melanjutkan dan menyelesaikan studinya di IAIN (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung.[8]
Beliau merupakan istri dari cucu pendiri Pesantren Kempek, KH. Muhammad Nawawi. Afwah bertekad untuk mendirikan pendidikan khusus putri, dengan sistem berjenjang dengan tujuan agar kualitas santrinya lebih baik. Ketika meminta restu kepada KH. Umar Sholeh. Akhirnya mertuanya merestui pendirian pesantren khuusus putri tersebut. Afwah menyebut madarasahnya dengan sebutan Madrasah Takhassus Lil Banat (MTLB). Selama empat belas tahun, Afwah berkonsentrasi mengembangkan Pondok Puteri Aisyah. Perjuangannya dalam memberikan pendidikan terhadap kemajuan santri putri (perempuan) tidak sia-sia, hal itu dibuktikan dengan makin bertambahnya santriwati, istilah yang digunakan santri perempuan, yang berjumlah 600 orang.
Pengembangan potensi dan bakat santri puteri menjadi garapan yang lebih diseriusi oleh Afwah. Ini berangkat dari keprihatinannya yang sangat pada sikap pasif santri puteri kepada guru atau orang yang dituakan. Budaya sami’na wa atha’na () membuat suasana kelas menjadi sepi dan monoton karena yang aktif Cuma guru saja. Afwah kemudian berinisiatif mengubah budaya itu. Ia menginginkan santri puterinya memiliki keberanian untuk bertanya dan berpendpat.[9]
Selain peduli terhadap pendidikan, Afwah juga sangat peduli terhadap permasalahan-permasalahan sosial, terutama masalah perempuan sekitarnya. Kedudukannya sebagai ibu Nyai, membuat Afwah haru ‘membuka’ pintu rumahnya selama 24 jam untuk menerima tamu dari berbagai klngan termasuk tamu-tamu yang datang dengan permasalahan dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Karena alasan ekonomi, banyak tetangga Afwah yang memilih bekerja menjadi TKI. Selain itu, Afwah juga aktif mendampingi beberapa kasus yang menimpa perempuan di sekitar tempat tinggalnya, mulai dari kasus hamil di luar nikah sampai pernikahan paksa.[10]
PUP 2 menyajikan delapan nama ulama perempuan, yakni Agustriani Muzayanah, Ernawati, Ery Khairiyah, Istianah, Kokom, Neng Hannah, Nia Ramdaniati, dan Yayah Fijriyah. Salah satu ulama perempuan yang berjuang dalam mengangkat perempuan dalam PUP 2 ini adalah Ery Khaeriyah dan Isti’anah. Ery Khaeriyah memiliki kegelisahan bahwa perempuan sesungguhnya mempunyai kualitas, hanya saja terkadang mereka kalah strart. Problem yang dihadapi perempuan ketika sudah berumahtangga adalah disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. Menurut perempuan kelahiran 21 Februari 1975 melihat banyak perempuan yang bisa memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk hak untuk mengembangkan potensi diri.[11]
Menurut Magister Tafsir Hadis IAIN (UIN) Jakarta ini, sebagian perempuan yang mengalami persoalan rumah tangga, sebenarnya ingin lepas dari masalah mereka, tetapi mungkin mereka belum tahu caranya atau merasa tidak berdaya. Sebab itu, perempuan itu harus kuat secara fisik dan mental, terutama kuat secara ekonomi. Berdasarkan pengalaman hidup Ery, memperkuat diri adalah salah satu jalan ketika ia tidak bisa melakukan perubahan kepada orang lain.[12] 
Sebab itu, dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini mengembangkan soft skill bagi para perempuan dalam bidang tahfidz, tilawah dan kaligrafi. Ery bersama suaminya meluangkan waktunya untuk mereka yng ingin belajar tilawah dan kaligrafi tanpa dipungut biaya.  Di Perempuan yang menjadi dewan pembina kaligrafi dan dewan hakim MTQ Kabupaten Cirebon ini ingin agar keahliannya itu bermanfaat bagi orang banyak. Sekarang rumahnya seperti padepokan kaligrafi. Ery menyampaikan kesetaraan gender terhadap para peserta didiknya melalui pelatihan kaligrafi.[13]
Hal senada diungkapakan Isti’anah, perempuan itu harus mandiri secara ekonomi, paling tidak dia bisa mengatasi salah persoalannya. Modal utama perempuan untuk maju adalah ilmu pendidkan, baik formal maupun nonformal. Dosen salah satu universitas terkemuka di Jember ini prihatin terhadap persoalan yang terjadi di masyarkat, terutama menyangkut dengan perempuan. Sebab itu, dirinya memberikan lapangan pekerjaan kepada beberapa perempuan di sekitarnya dengan membangun usaha kerudung.[14]
Adapaun pada bagin PUP 3 terdapat sembilan pofil ulama perempuan yang disajikan dalam buku ini. Mereka adalah Aniroh Munawaroh, Badi’ah Nuriyah, Laila Juaharoh, Maesaroh, Marfuah, Nur Faizah, Nur I’anah, Sri Lasmi, dan Ummi Hanik. Perjuangan ulama perempuan dalam memberdayan perempuan dalam berbagai aspek juga dilakukan Aniroh. Ketidakadilan terhadap dirinya dan perempuan secara umum dirasakannya ketika mengenyam pendidikan di SMP hingga SMA. Menurut perempuan yang tinggal di Cilacap ini, dalam setiap acara yang berlangsung yang paling dibuat sibuk adalah perempuan, mulai dari mengurus makanan, menyapkannya, membereskan rumah hingga menghidangkan makanan. Kegelisahan diwaktu muda itu mendorong dirinya untuk melakukan perubahan terhadap stigma yang berlangsung terhadap perempuan.
Perempuan yang pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini melakukan pemberdayaan masyarakat di bidang politik dan ekonomi. Aniroh mendorong teman-temannya yang perempuan untuk terlibat dalam kegiatan pendidikan politik, aktif dalam kepanitiaan Pemilu. Sebab itu, perempuan yang aktif di Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) ini mendorong dan mendesak para lembaga pelakanan pemilu, mulai dari Panwas, KPU agar memberi ruang dan akses yang lebih besar kepada perempuan.[15]
Sementara itu di bidang ekonomi, perempuan dua anka ini berusaha membangun tumbuhnya kesadaran agar kaum perempuan mengurangi budaya konsumtif, sekaligus mengubahnya menjadi budaya produktif. Dia dan teman-temannya berusaha mendorong kaum perempuan di desanya untuk membuat kecap dan juga berbagai produk makanan yang bahan bakunya berasal dari kebun dan ladang warga. Selain itu, Aniroh juga tengah memberdayakan kelompok buruh migran di wilayah Dondong Kesugihan bersama teman-temannya. Namun, dia mengakui bahwa mensosialisasikan nilai adil gender di tengah masyarakat itu penuh tantangan. “Kendala biasanya ketika kita berhadapan dengan orang-orang yang paling tinggi bidang agama. Kemudian budaya yang terlalu kuat melekat sehingga muncul benturan,” ucap anggota KPU Kabupaten Cilacap periode 2013-2018 ini. [16]
Di bagian “Tokoh Agama” disajikan sembilan nama profil ulama perempuan. yakni Anis Saudah, Azizah Alawiyah, Eka Julaiha, Iroh Suhiroh, Khotimah Suryani, Nadjatul Muna, Nurul Sugiyati, Ratu Vina Rahmatika, dan Raudlatun Miftah. Manusia yang baik adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Prinsip itu yang dipegang teguh oleh ulama perempuan bernama Anis Su’adah. Perempuan kelahiran Lamongan  pada 13 Mei 1975 ini melakukan gerakan melaui komunitas. Isu yang diliriknya terkait  reproduksi (kespro). Pendampingan yang dilakukan aktivis Fatayat ini dimulai tahun 2007 dengan pembahasan utama terkait angka kematian ibu (AKI).
Berdasarkan data dari Dinkes yang menyebutkan, angka Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) di kalangan remaja pada tahun 2012 ada 46 kasus. Belum lagi kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang terjadi pada anak usia 10 – 19 tahun. Temuan itu membuat perempuan alumni Pesantren Tambak Beras ini menginisiasi berdirinya Forum Remaja Lamongan (FORMALA). Inisiatif itu diambut baik oleh teman-teman aktivis kampus dan juga teman lain yang ada di Aliansi Perempuan Lamongan (APEL). Melalui lembaga itu Anis bersama teman-temannya melakukan roadshow sosialisasi kespro remaja dari satu sekolah ke sekolah lain, dari pesantren ke pesantren lain. [17]
Dalam melakukan kegiatannya, APEL bermitra dengan berbagai pihak, seperti Cakrawala Timur. Kepada perempuan-perempuan yang tergabung dalam komunitas dampingan maupun sekolah perempuan ini, berbagai macam materi dan isu disampaikan mulai dari gender, KdRT, hingga pengambilan keputusan dan advokasi kebijakan. Di tingkat kabupaten, APEL juga aktif melakukan pendekatan ke berbagai kedinasan agar menyusun program yang lebih responsif gender.[18]
Partisipasi perempuan dalam pemberdayaan masyarakat ternyata tidak kalah dengan laki-laki. Kancah mereka di bidang pemberdayaan justru lebih strategi, karena langsung tertuju pada grass root. Pemberdayaan yang dilakukan perempuan tidak hanya dirasakan oleh perempuan tetapi juga oleh laki-laki. Dengan hadirnya buku setebal 363 halaman ini diharapkan peran dan jasa ulama perempuan tidak hilang terkubur menara gading patriarkhi. Kehadiran ulama perempuan yang sudah berjuang mengorbankan segala hidupnya untuk kesetaraan dan kesejahteraan masyarakat menjadi penggerak kemajuan masyarakat lokal.

Book Review
Sketsa Perjuangan Ulama Perempuan dalam Menegakkan Kemanusiaan
Maulana Ihsan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Maulana_ismail@yahoo.co.id

Judul buku                 :  Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima
Penulis                       : AD Eridani SH, dkk.
Penerbit                     : Rahima, Jakarta
Cetakan                    : Pertama, September 2014
Tebal                         : 363 Halaman
ISBN                        : 978-602-98059-7-0


[1] Jumlah ulama perempuan yang meriwayatkan hadis pada generasi sahabat terdapat lebih dari seribu orang. Hal itu tercatat dalam Musnad Ahmad yang menampilkan secara khusus hadis-hadis yang diriwayatkan sahabiyat (para sahabat perempuan). Sebanyak 125 orang dari sekitar 700 yang meriwayatkan hadis generasi awal adalah perempuan. Namun generasi ulama perempuan setelah Nabi mengalami penurunan. Faktor politik dan budaya yang cenderug meminggirkan perempuan turut menymbangkan terjadinya penurunan jumlah perempuan dalam lintasan sejarah keulamaan. Ali Muhannif (ed.), Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: Gramedia, 2002), 47-49.
[2] Ahmad Suhendra, “Rekonstruksi Peran dan Hak Perempuan dalam Organisasi Masyarakat Islam”, Musawa, Vol 11 No. 1 Januari 2012, 48.
[3] Ahmad Suhendra, “Rekonstruksi Peran, 48.
[4] Yuyuk Fauziah, “Ulama Perempuan dan Dekonstruksi Fiqih Patriarkhis”, Islamica, Vol. 5 No. 1 September 2010, 55.
[5] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan untuk Kemannusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima (Jakarta: Rahima, 2014), xxix.
[6] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan, xxxiv.
[7] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan, xxxvi.
[8] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan, 9.
[9] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan 10.
[10] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan, 11-14.
[11] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan 148.
[12] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan, 148.
[13] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan, 150.
[14] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan, 155-156.
[15] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan 191-192.
[16] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan 192-195.
[17] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan 264.
[18] Ad, Eridani SH, dkk., Merintis Keulamaan, 268.

Komentar