Perempuan
menjadi entitas yang selalu mendapatkan deskriminatif. Perempuan dalam lintasan
sejarah mendapatkan stigma negatif dalam setiap masanya. Kondisi itu menjadi
langgeng akibat dari mengakarnya budaya patriarkhi di kehidupan. Akibatnya,
budaya yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan itu dianggap sebagai sebuah
hal yang lumrah.
Kehadiran
Islam adalah juga sejarah pembebasan manusia termasuk perempuan. perempuan
menjadi salah satu kelompok masyarakat yang mendapatkan perhatian khusus oleh
Islam karena penistaan yang mereka terima. Perlakuan buruk masa lalu
menunjukkan perempuan tidak dianggap sebagai manusia. Namun, sejak awal kehadirannya
Islam mengubah cara pandang dan cara memperlakukan perempuan secara manusiawi.
Penghargaan
Islam atas perempuan ini memungkinkan peran aktif mereka dalam masyarakat.
Ajaran Islam di satu sisi digunakan dalam memenuhi keadilan. Di sisi lain juga
kerap disalahgunakan untuk melegitimasi ketidakadilan. Atas nama Islam
sekelompok muslim meyakini dan mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender.
Namun atas nama Islam pula sekelompok muslim lainnya menentangnya. Di sinilah
kehadiran ulama perempuan menjadi sangat penting sebagaimana para shahabiyat
pada masa Rasulallah, seperti ‘Aisyah dan Ummu Salamah. [1]
Begitu
juga dengan budaya yang berkembang di suatu daerah lahirnya Islam. Budaya yang
berkembang pada pra-Islam sangat patrialistik, budaya yang menganggap anak
perempuan sebagai sebuah kerugian bagi kabilah atau sukunya. Diakui atau tidak,
dengan masih kuatnya pengaruh budaya-budaya patrialistik tersebut, berimplikasi
atau berpengaruh terhadap proses keagamaan yang merupakan bentuk implementasi
dari penafsiran al-Qur’an dan Hadis yang bias gender. Konsekuensinya adalah
kristalisasi dari semua itu menjadi ajaran keagamaan yang patrialistik.[2]
Dalam
riwayat dari Ibnu Abbas, Umar bin Khattab seorang sahabat Rasulallah saw.
Menuturkan perubahan sikap drastis atas perempuan yang diajarkan oleh Islam.
Artinya:
Dulu kami pada masa jahiliyyah tidak memperhitungkan perempuan sama
sekali. Ketika Islam turun, dan Allah mengakui mereka kemudian kami memandang
bahwa mereka pun memiliki hak atas kami yang otonom dan tidak bisa kami
intervensi (HR. Al-Bukhari)
Perempuan
terus berubah dari masa ke masa. Secara personal sebagai perempuan, mereka
mengalami kemajuan. Di Indonesia telah memiliki sarjana perempuan cukup banyak,
tidak sedikit pula mereka yang mampu menyelesaikan jenjang pendidikan formal.
Tetapi peran mereka dalam kancah sosial keagamaan belum mendapatkan perhatian
dari masyarakat secara serius. Sehingga kontribusi ulama perempuan yang
sebenarnya memiliki implikasi substantif, terkubur oleh kuatnya badai budaya
patriarkhi. Peran ulama dalam bidang keagamaan belum banyak yang melirik dengan
serius. Padahal tidak sedikit perempuan yang bergelut dalam pembinaan
masyarakat. Mereka tidak hanya melakukan ceramah dari satu pengajian ke
pengajian lainnya, melainkan juga memiliki visi sosia dalam membangun peradaban
manusia Indonesia seutuhnya.
Secara
de jure tidak ada hambatan struktural bagi perempuan untuk menjadi setara
dengan laki-laki. Secara de facto, banyak perempuan yang secara sukarela tidak dapat
melepaskan faktor biologisnya. Walaupun demikian, faktor sukarela itu pun
didasarkan dan dilatarbelakangi budaya dan keagamaan yang menuntut demikian.
Islam secara ideal membuka kesempatan dan peran yang setara bagi laki-laki dan
perempuan untuk berprestasi, dalam berbagai bidang kehidupan. [3]
Namun
peran itu kalah saing atau sengaja dilenyapkan dengan ‘kuasa’ kelaki-lakian.
Peran laki-laki dalam bidang sosial keagamaan memang sangat menonjol jika
dibandingkan dengan perempuan. Sebab itu istilah Ulama sudah terdistorsi
sehingga cenderung hanya ditujukan pada laki-laki. Padahal, Islam mengenal para
periwayat hadis yang juga dari kalangan perempuan, di antara mereka adalah
‘Aisyah dan Ummu Salamah. Namun demikian, masih jarang dijumpai buku tentang
profil dan best pracitce para ulama perempuan.
Kerisauan
banyak kalangan terhadap “kalangan ulama” di Indonesia khususnya disinyalir
karena konstruksi religio-sosiologis yang menitikberatkan pada konsep ulama
yang bisa dibilang teralalu ekstrim. Namun, dalam konteks Indonesia, keahlian
dalam bidang fiqh (hukum Islam) saja belum cukup bagi seseorang untuk diakui
sebagai ulama. Terlebih bagi perempuan, tidak mudah menyandang status sebagai
ulama. [4]
Dalam
konteks Islam Indonesia, harus pula diakui, kesetaraan gender masih merupakan
isu yang belum diterima secara luas di kalangan muslim. Kenyataan ini berkaitan
dengan fakta bahwa perempuan tidak banyak terlibat dalam proses produksi dan
reproduksi wacana sosial intelektual keagamaan.
Sejarah tentang ulama perempuan memang belum menjadi suatu sejarah yang
terang benderang. Selama ini, kecenderungannya laki-laki masih mendominasi
tradisi keulamaan atau keilmuan.
Kegelisahan
itu yang ditangkap oleh Rahima yang kemudian ditindaklanjuti dengan penulisan
para profil. Dalam konteks Indonesia. Kehadiran buku ini bisa menjadi jawaban
atas kekurangan dan permasalahan di atas. Hal itu dimaksudkan untuk
memfasilitasi peningkatan dan membangun tradisi keulamaan di kalangan
perempuan. di dalamnya memuat 40 profil kader ulama perempuan yang mengikuti
program pendidikan Ulama Perempuan dan Program Pendidikan Tokoh agama yang
dilakukan Rahima.
Dengan
bersumber dari data yang didapat melalui interview langsung dengan para kader,
tulisan-tulisan dalam buku ini terbaca jujur, lugas dan dekat dengan pengalaman
perempuan. buku ini merupakan catatan posistif bagi perkembangan kiprah
perempuan muslim di Indonesia dalam konteks keagamaan.
Secara
sosial, budaya, ekonomi, politik dan lainnya Indonesia sebetulnya lebih
kondusif untuk membangun relasi gender yang sehat baik di dalam keluarga,
masyarakat, maupun negara daripada di negara lain. Wacana Islam yang adil
gender di Indonesia semakin hari semakin mudah ditemukan dalam karya-karya
tulis yang bernafaskan agama mupun lainnya di Indonesia. Atmosfir ini merupakan
lahan sosial yang bagus untuk menyemai munculnya ulama perempuan yang mumpuni
dalam beragam keilmuan, memiliki sensitifitas gender yang tajam, penuli pada
problem kemanusiaan di berbagai level kehidupan berbangsa, bernegara dan
beragama, dan penuh inisiatif untuk mengjak umat melakukan perubahan yang baik.[5]
Ulama
perempuan dengan perspektif gender yang baik, akan mempertimbangkan pengalaman
perempuan sebagai bagian dari upaya memahami ajaran Islam dan meyakini bahwa
pemahaman Islam yang berakibat buruk pada perempuan sebagai pemahaman yang
harus diinterpretasi ulang. Keulamaan perempuan menjadi penting karena
diskriminasi terhadap perempuan masih berlangsung dan adanya kecenderungan
besar untuk memahami Islam dengan mengabaikan spirit keadilan bagi perempuan.
Di samping itu, keulamaan perempuan juga penting karena perempuan pada umumnya
paham arti diskriminasi karena hampir setiap perempuan pernah mengalaminya
dalam skala yang bermacam-macam.(xxxi)
Sejarah
perjalanan bangsa Indonesia sesungguhnya diwarnai dengan banyak perempuan hebat
yang mempunyai kesempatan belajar agama bahkan lahir dari masyarakat yang
religius namun kritis terhadap tradisi yang melebahkan perempuan termasuk
tradisi agama. Keulamaan perempuan telah dirintis sejak masa yang awal sekali
di Indonesia. Gagasan ulama perempuan dalam perspektif Rahima adalah mereka
yang mempunyai pengetahuan, baik pengetahuan agama maupun lainnya, dan dengan
pengetahuan tersebut mereka melakukan perubahan sosial dengan kemaslahatan
manusia. Adapun ulama perempuan yang dirintis Rahim memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: [6]
1.
Menguasai
teksteks keagamaan klasik dan kontemporer dengan perspektif keadilan gender
Islam
2.
Mampu
membaca realitas sosial dengan kritis (ketimpangan relasi, sttruktur yang
menindas, budaya dan pemahaman keagamaan yang menindas)
3.
Mampu
dan berani berargumentasi dan mengartikulasikan gagasan serta nilia-nilai
keadilan dengan perspektif Islam, baik secara tulis maupun lisan.
4.
Mampu
dan berani mendialogkan kepentingan masyarakat yang terpinggirkan kepada para
pemangku kebijakan di lokal, nasional dan global.
5.
Memiliki
penghargaan terhadap tradisi lokal (kearifan)
Visi
kemaslahatan manusia dalam keulamaan perempuan di satu sisi dapat diartikan
bahwa usaha mewujudkan kemaslahatan perempuan adalah bagian tak terpisahkan
dari usaha mewujudkan kamanusiaan. Namun dis sisi lain visi kemanusiaan ini
juga dpat berarti berikut:[7]
1.
Kepemimpinan
ulama perempuan tidak hanya untuk dapat otoritas dalam Islam tetapi menjawab
persoalan kemanusiaan termasuk persoalan perempuan apapun agamanya.
2.
Kepemimpinan
ulama perempuan tidak hanya untuk memperkuat diri dan jaringan tetapi bagaimana
menolong siapapun yang menjadi korban ketidakadilan terutama perempuan.
3.
Kepemimpinan
ulama perempuan tidak hanya untuk perempuan, tetapi untuk negara, bangsa dan
peradaban dunia.
Profil
ulama perempuan dalam buku ini terbagi menjadi empat, yakni PUPI 1, PUP 2, PUP
3, dn Tokoh Agama. PUP 1 memuat 14 nama ulama perempuan dari berbagai daerah di
Indonesia mereka adalah Afwah Mumtazah,
Fatimah, Ida Mahmudah, Imas Masfuah, Lia Aliyah, Luluk Faridan, Najmatul Milla,
Neng Hilma Nur Rohimah, Raihanah Faqih, Siti Ansyoriyah, Titi Siti Rohanah,
Titik Rachmawati, dan Yulianti Muthmainnah.
Afwah
Mumtaah merupakan seorang Nyai di Pondok Puteri Aisyah yang berada di
lingkungan Pesantren Kempek, Cirebon. Afwah lahir sebagai anak ketiga dari
pasangan KH. Amin dari Babakan dan Nyai Hj. Izzah Syatory dari Arjawinangun. Ia
bersama sembilan saudaranya lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren Babakan,
Cirebon. Perempuan kelahiran 39 tahun yang lalu ini kemudian menempuh jenjang
Tsanawiyah di Pesantren Babakan. Setelah lulus, dirinya melanjutkan pesantren
di Kudus, teapi karena model pendidikan di sana tidak cocok maka dia pindak ke
Yogyakarta. Tepatnya mondok di Pesantren Hindun Annisa di bawah asuhan Ibu Nyai
Hj. Durrotun Nafisah Ali. Kemudian melanjutkan ke Pondok Peantren BUQ Betengan
di Demak untuk mengkhatamkan hapalan al-Qur’annya.
Untuk
melanjutkan studinya, Afwah memilih IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga,
Fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir Hadis. Di tengah asyik dengan dunia kampus,
Afwah diminta pulang oleh utusan dari Ayahandanya. Afwah tidak menyangka bahwa
panggilan untuk pulang itu ternyata untuk menikahkan dirinya dengan Muhammad
Nawawi Umar, anak Pakde-nya. Setelah menikah, Afwah pun melanjutkan dan
menyelesaikan studinya di IAIN (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung.[8]
Beliau
merupakan istri dari cucu pendiri Pesantren Kempek, KH. Muhammad Nawawi. Afwah
bertekad untuk mendirikan pendidikan khusus putri, dengan sistem berjenjang
dengan tujuan agar kualitas santrinya lebih baik. Ketika meminta restu kepada
KH. Umar Sholeh. Akhirnya mertuanya merestui pendirian pesantren khuusus putri
tersebut. Afwah menyebut madarasahnya dengan sebutan Madrasah Takhassus Lil
Banat (MTLB). Selama empat belas tahun, Afwah berkonsentrasi mengembangkan
Pondok Puteri Aisyah. Perjuangannya dalam memberikan pendidikan terhadap
kemajuan santri putri (perempuan) tidak sia-sia, hal itu dibuktikan dengan
makin bertambahnya santriwati, istilah yang digunakan santri perempuan, yang
berjumlah 600 orang.
Pengembangan
potensi dan bakat santri puteri menjadi garapan yang lebih diseriusi oleh
Afwah. Ini berangkat dari keprihatinannya yang sangat pada sikap pasif santri
puteri kepada guru atau orang yang dituakan. Budaya sami’na wa atha’na
() membuat suasana kelas menjadi sepi dan monoton karena yang aktif Cuma guru
saja. Afwah kemudian berinisiatif mengubah budaya itu. Ia menginginkan santri
puterinya memiliki keberanian untuk bertanya dan berpendpat.[9]
Selain
peduli terhadap pendidikan, Afwah juga sangat peduli terhadap
permasalahan-permasalahan sosial, terutama masalah perempuan sekitarnya.
Kedudukannya sebagai ibu Nyai, membuat Afwah haru ‘membuka’ pintu rumahnya
selama 24 jam untuk menerima tamu dari berbagai klngan termasuk tamu-tamu yang
datang dengan permasalahan dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Karena alasan
ekonomi, banyak tetangga Afwah yang memilih bekerja menjadi TKI. Selain itu,
Afwah juga aktif mendampingi beberapa kasus yang menimpa perempuan di sekitar
tempat tinggalnya, mulai dari kasus hamil di luar nikah sampai pernikahan
paksa.[10]
PUP
2 menyajikan delapan nama ulama perempuan, yakni Agustriani Muzayanah,
Ernawati, Ery Khairiyah, Istianah, Kokom, Neng Hannah, Nia Ramdaniati, dan
Yayah Fijriyah. Salah satu ulama perempuan yang berjuang dalam mengangkat
perempuan dalam PUP 2 ini adalah Ery Khaeriyah dan Isti’anah. Ery Khaeriyah
memiliki kegelisahan bahwa perempuan sesungguhnya mempunyai kualitas, hanya
saja terkadang mereka kalah strart. Problem yang dihadapi perempuan
ketika sudah berumahtangga adalah disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga.
Menurut perempuan kelahiran 21 Februari 1975 melihat banyak perempuan yang bisa
memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk hak untuk mengembangkan potensi diri.[11]
Menurut
Magister Tafsir Hadis IAIN (UIN) Jakarta ini, sebagian perempuan yang mengalami
persoalan rumah tangga, sebenarnya ingin lepas dari masalah mereka, tetapi
mungkin mereka belum tahu caranya atau merasa tidak berdaya. Sebab itu,
perempuan itu harus kuat secara fisik dan mental, terutama kuat secara ekonomi.
Berdasarkan pengalaman hidup Ery, memperkuat diri adalah salah satu jalan
ketika ia tidak bisa melakukan perubahan kepada orang lain.[12]
Sebab
itu, dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini mengembangkan soft skill bagi para
perempuan dalam bidang tahfidz, tilawah dan kaligrafi. Ery bersama suaminya
meluangkan waktunya untuk mereka yng ingin belajar tilawah dan kaligrafi tanpa
dipungut biaya. Di Perempuan yang
menjadi dewan pembina kaligrafi dan dewan hakim MTQ Kabupaten Cirebon ini ingin
agar keahliannya itu bermanfaat bagi orang banyak. Sekarang rumahnya seperti
padepokan kaligrafi. Ery menyampaikan kesetaraan gender terhadap para peserta
didiknya melalui pelatihan kaligrafi.[13]
Hal
senada diungkapakan Isti’anah, perempuan itu harus mandiri secara ekonomi,
paling tidak dia bisa mengatasi salah persoalannya. Modal utama perempuan untuk
maju adalah ilmu pendidkan, baik formal maupun nonformal. Dosen salah satu
universitas terkemuka di Jember ini prihatin terhadap persoalan yang terjadi di
masyarkat, terutama menyangkut dengan perempuan. Sebab itu, dirinya memberikan
lapangan pekerjaan kepada beberapa perempuan di sekitarnya dengan membangun
usaha kerudung.[14]
Adapaun
pada bagin PUP 3 terdapat sembilan pofil ulama perempuan yang disajikan dalam
buku ini. Mereka adalah Aniroh Munawaroh, Badi’ah Nuriyah, Laila Juaharoh,
Maesaroh, Marfuah, Nur Faizah, Nur I’anah, Sri Lasmi, dan Ummi Hanik. Perjuangan
ulama perempuan dalam memberdayan perempuan dalam berbagai aspek juga dilakukan
Aniroh. Ketidakadilan terhadap dirinya dan perempuan secara umum dirasakannya
ketika mengenyam pendidikan di SMP hingga SMA. Menurut perempuan yang tinggal
di Cilacap ini, dalam setiap acara yang berlangsung yang paling dibuat sibuk
adalah perempuan, mulai dari mengurus makanan, menyapkannya, membereskan rumah
hingga menghidangkan makanan. Kegelisahan diwaktu muda itu mendorong dirinya
untuk melakukan perubahan terhadap stigma yang berlangsung terhadap perempuan.
Perempuan
yang pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini melakukan pemberdayaan
masyarakat di bidang politik dan ekonomi. Aniroh mendorong teman-temannya yang
perempuan untuk terlibat dalam kegiatan pendidikan politik, aktif dalam
kepanitiaan Pemilu. Sebab itu, perempuan yang aktif di Koalisi Perempuan Indonesia
(KPI) ini mendorong dan mendesak para lembaga pelakanan pemilu, mulai dari
Panwas, KPU agar memberi ruang dan akses yang lebih besar kepada perempuan.[15]
Sementara
itu di bidang ekonomi, perempuan dua anka ini berusaha membangun tumbuhnya
kesadaran agar kaum perempuan mengurangi budaya konsumtif, sekaligus
mengubahnya menjadi budaya produktif. Dia dan teman-temannya berusaha mendorong
kaum perempuan di desanya untuk membuat kecap dan juga berbagai produk makanan
yang bahan bakunya berasal dari kebun dan ladang warga. Selain itu, Aniroh juga
tengah memberdayakan kelompok buruh migran di wilayah Dondong Kesugihan bersama
teman-temannya. Namun, dia mengakui bahwa mensosialisasikan nilai adil gender
di tengah masyarakat itu penuh tantangan. “Kendala biasanya ketika kita
berhadapan dengan orang-orang yang paling tinggi bidang agama. Kemudian budaya
yang terlalu kuat melekat sehingga muncul benturan,” ucap anggota KPU Kabupaten
Cilacap periode 2013-2018 ini. [16]
Di bagian
“Tokoh Agama” disajikan sembilan nama profil ulama perempuan. yakni Anis
Saudah, Azizah Alawiyah, Eka Julaiha, Iroh Suhiroh, Khotimah Suryani, Nadjatul
Muna, Nurul Sugiyati, Ratu Vina Rahmatika, dan Raudlatun Miftah. Manusia yang
baik adalah yang bermanfaat bagi orang lain. Prinsip itu yang dipegang teguh
oleh ulama perempuan bernama Anis Su’adah. Perempuan kelahiran Lamongan pada 13 Mei 1975 ini melakukan gerakan melaui
komunitas. Isu yang diliriknya terkait
reproduksi (kespro). Pendampingan yang dilakukan aktivis Fatayat ini
dimulai tahun 2007 dengan pembahasan utama terkait angka kematian ibu (AKI).
Berdasarkan
data dari Dinkes yang menyebutkan, angka Kehamilan Tak Diinginkan (KTD) di
kalangan remaja pada tahun 2012 ada 46 kasus. Belum lagi kasus pemerkosaan dan
pelecehan seksual yang terjadi pada anak usia 10 – 19 tahun. Temuan itu membuat
perempuan alumni Pesantren Tambak Beras ini menginisiasi berdirinya Forum
Remaja Lamongan (FORMALA). Inisiatif itu diambut baik oleh teman-teman aktivis
kampus dan juga teman lain yang ada di Aliansi Perempuan Lamongan (APEL).
Melalui lembaga itu Anis bersama teman-temannya melakukan roadshow
sosialisasi kespro remaja dari satu sekolah ke sekolah lain, dari pesantren ke
pesantren lain. [17]
Dalam
melakukan kegiatannya, APEL bermitra dengan berbagai pihak, seperti Cakrawala
Timur. Kepada perempuan-perempuan yang tergabung dalam komunitas dampingan
maupun sekolah perempuan ini, berbagai macam materi dan isu disampaikan mulai
dari gender, KdRT, hingga pengambilan keputusan dan advokasi kebijakan. Di
tingkat kabupaten, APEL juga aktif melakukan pendekatan ke berbagai kedinasan
agar menyusun program yang lebih responsif gender.[18]
Partisipasi
perempuan dalam pemberdayaan masyarakat ternyata tidak kalah dengan laki-laki.
Kancah mereka di bidang pemberdayaan justru lebih strategi, karena langsung
tertuju pada grass root. Pemberdayaan yang dilakukan perempuan tidak
hanya dirasakan oleh perempuan tetapi juga oleh laki-laki. Dengan hadirnya buku
setebal 363 halaman ini diharapkan peran dan jasa ulama perempuan tidak hilang
terkubur menara gading patriarkhi. Kehadiran ulama perempuan yang sudah
berjuang mengorbankan segala hidupnya untuk kesetaraan dan kesejahteraan
masyarakat menjadi penggerak kemajuan masyarakat lokal.
Book Review
Sketsa Perjuangan Ulama Perempuan dalam Menegakkan Kemanusiaan
Maulana Ihsan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Maulana_ismail@yahoo.co.id
Judul buku : Merintis Keulamaan untuk Kemanusiaan: Profil Kader Ulama Perempuan Rahima
Penulis : AD Eridani SH, dkk.
Penerbit : Rahima, Jakarta
Cetakan : Pertama, September 2014
Tebal : 363 Halaman
ISBN : 978-602-98059-7-0
[1] Jumlah ulama
perempuan yang meriwayatkan hadis pada generasi sahabat terdapat lebih dari
seribu orang. Hal itu tercatat dalam Musnad Ahmad yang menampilkan
secara khusus hadis-hadis yang diriwayatkan sahabiyat (para sahabat
perempuan). Sebanyak 125 orang dari sekitar 700 yang meriwayatkan hadis
generasi awal adalah perempuan. Namun generasi ulama perempuan setelah Nabi
mengalami penurunan. Faktor politik dan budaya yang cenderug meminggirkan
perempuan turut menymbangkan terjadinya penurunan jumlah perempuan dalam
lintasan sejarah keulamaan. Ali Muhannif (ed.), Mutiara Terpendam: Perempuan
dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta: Gramedia, 2002), 47-49.
[2] Ahmad
Suhendra, “Rekonstruksi Peran dan Hak Perempuan dalam Organisasi Masyarakat
Islam”, Musawa, Vol 11 No. 1 Januari 2012, 48.
[3] Ahmad
Suhendra, “Rekonstruksi Peran, 48.
[4] Yuyuk Fauziah,
“Ulama Perempuan dan Dekonstruksi Fiqih Patriarkhis”, Islamica, Vol. 5
No. 1 September 2010, 55.
[5] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan untuk Kemannusiaan: Profil Kader Ulama
Perempuan Rahima (Jakarta: Rahima, 2014), xxix.
[6] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan, xxxiv.
[7] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan, xxxvi.
[8] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan, 9.
[9] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan 10.
[10] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan, 11-14.
[11] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan 148.
[12] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan, 148.
[13] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan, 150.
[14] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan, 155-156.
[15] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan 191-192.
[16] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan 192-195.
[17] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan 264.
[18] Ad, Eridani
SH, dkk., Merintis Keulamaan, 268.
Komentar