PENGEMBARAAN IMAM AL-SYAFI’I




Judul             :    Biografi Imam Syafi’i: Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid
Penulis          :     Dr. Tariq Suwaidan
Penerbit        :     Zaman
Penerjemah   :     Iman Firdaus
Penyunting     :     M. Taufik Damas
Cetakan        :     I, 2011
Tebal             :     310 Halaman
ISBN            :     978-979-024-095-7


“Qauli shawab yahtamilu al-khatha’, wa qaulu ghairi khatha’ yahtamilu al-shawab.” (Pendapatku benar, tetapi ada kemungkinan salah. Pendapat orang lain salah, tetapi ada kemungkinan benar).
Ungkapan imam Al-Syafi’i di atas mengusung nilai-nilai objektivitas dan toleran atas beberapa perbedaan dalam ijtihad. Belum lagi, pergolakan politik dan perkembangan keilmuan pada masa itu. Imam Al-Syafi’i mengalami pergesekan politik dua imperium Islam, yakni dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah.
Perseteruan antara ahli ra’yu dan ahli hadis yang bergejolak pada masa itu, juga ikut membentuk karakter keilmuan imam Al-Syafi’i. Selain itu, tumbuh suburnya aliran-aliran tertentu dalam fiqh juga turut berperan atas dideklarasikannya mazhab syafi’iyun. Dengan begitu, keilmuan imam Al-Syafi’i sebagai mujtahid tidak dapat dipisahkan dengan masa kejayaan Islam pada masa itu.

Buku yang ditulis Tariq Suwaidan ini setidaknya mencoba memberikan ‘gambaran’ sosok imam Al-Syafi’i secara universal. Hampir setiap uraian dalam buku yang dialihbahasakan oleh Iman Firdaus ini disertakan riwayat-riwayat, yang menjadi ciri khas dari karya-karya penulis timur tengah kebanyakan, dari para murid, tokoh, dan keluarga imam Al-Syafi’i. Hal ini setidaknya menguatkan karakteristik sosok imam Al-Syafi’i sebagai mujtahid kenamaan. Penerbit Zaman menerbitkan buku ini dengan polesan ilustrasi yang apik dan menawan, sehingga pembaca akan merasa nyaman dalam menelusuri setiap lembarnya.

Melahirkan Fiqh Baru
Imam al-Syafi’i memiliki nama lengkap Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn Yazid ibn Hasyim ibn Muthallib ibn Abdi Manaf. Dengan demikian, beliau satu nasab dengan moyang Rasulallah saw., Abdi Manaf. Di dalam buku ini diterangkan, bahwa imam Al-Syafi’i tidak hanya mengusai ilmu fikih dan keilmuan agama secara umum. Imam Al-Syafi’i juga mahir dalam bidang militer, kedokteran, ilmu gizi, ilmu nasab, sejarah, dan sastra. Kelebihan lain yang dimiliki sang mujtahid adalah hapalan yang kuat, firasat yang tajam, dan pandangan yang tajam.
Tariq menerangkan bahwa Imam Al-Syafi’i senang mengembara dari satu tempat ke tampat lain, untuk menuntut ilmu dan meneliti adat istiadat di daerah tersebut. Saat usia belia, imam Al-Syafi’i memulai menuntut ilmunya di Makkah. Untuk memperdalam bahasa Arab imam Al-Syafi’i memilih tinggal di dusun kaum Hudzail selama 17 tahun. Kaum Hudzail merupakan kaum yang dinilai memiliki kefasihan bahasa Arab (murni), terutama di bidang bayan dan syair.
Setelah menguasai kesusastraan, imam Al-Syafi’i hijrah ke Madinah untuk belajar fiqh kepada Malik ibn Anas (imam Malik) melalui kitabnya, al-Muwaththa’. Beliau juga mengembara ke Irak, terutama ke Baghdad, untuk menuntuk ilmu kepada Muhammad ibn Hasan (murid dari imam Abu Hanifah). Setelah mengembara ke beberapa daerah, imam Al-Syafi’i kembali berkunjung ke Baghdad. Kunjungan yang kedua ini untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran fiqh yang telah dikembangnya dan menyelesaikan secara damai perseteruan wacana yang terjadi di Baghdad.
Salah satu problematika wacana keagamaan yang berkembang pada saat itu adalah mengenai perseteruan antara ahli ra’yi dan ahli hadis. Para ahli ra’yi cenderung memperluas bahasan mereka tentang masalah-masalah furu’ (cabang). Sementara itu, para ahli hadis memahami ajaran-ajaran yang terkandung dalam hadis hanya terbatas pada yang tersurat saja, sehingga cenderung tekstualis. Imam Al-Syafi’i datang ke Baghdad dengan membawa fiqh baru yang didukung oleh ‘hasil pemikiran’ dan hadits. Dengan pembelaan imam al-Syafi’i, para ahli hadis melihat beliau sebagai pemimpin terbaik yang membela hadis dan ‘membangunkan’ para ahli hadis. Sebagaimana ungkapan imam Ahmad, “jika bukan karena al-Syafi’i,  niscaya kami tidak pernah mengetahui fiqh hadis” (170-172).
Beliau menemukan tabiat dan adat istiadat baru ketika mengembara ke Mesir, sehingga membuat beliau harus menarik kembali sebagian pendapatnya (qaul qadim) dan mengkaji ulang (183). Imam al-Syafi’i mulai menata kembali qaul qadim-nya dalam kitab al-Risalah yang dikarang di Hijaz. Beliau juga mengumpulkan seluruh karyanya di bidang fiqh. Kebanyakan karyanya dikodifikasi dalam satu kitab yang bernama al-Umm. Dan dari sini imam al-Syafi’i melahirkan fikih barunya, sering disebut qaul jadid.
Imam al-Syafi’i menorehkan pemikiran fikih, dalam buku ini disebut, metodologi baru, yakni kombinasi antara fiqh Irak dan fikih Madinah (Hijaz). Fiqh Irak yang cenderung  rasionalis (ra’yi), sedangkan fikih Madinah cenderung tekstualis. Mazhab syafi’iyun menjadi mazhab dengan penganut terbesar, khususnya di Indonesia. Selain sebagai pendiri pondasi mazhab syafi’iyun, imam Al-Syafi’i juga dipandang sebagai orang yang mencetuskan metodologi pembacaan (penafsiran) teks melalui mognum opus-nya, kitab al-Risalah. Dengan demikian, imam Al-Syafi’i dapat disebut sebagai revolusioner ushul fiqh.
Namun, perlu disayangkan dalam buku ini tidak disinggung tentang mekanisme istinbat hukum yang dirumuskan imam Al-Syafi’i secara detail. Tariq juga tidak memberikan kritik atas produk pemikiran imam Al-Syafi’i. Kekurangan lainnya adalah terdapat pengulangan-pengulangan kalimat saat membaca halaman berikutnya. Kemudian, dalam hal-hal tertentu disebutkan satu riwayat, dan pada halaman berikutnya disebutkan riwayat lain dengan keterangan yang berbeda. Tariq tidak ‘ riwayat mana yang lebih kuat tersebut, menentukan atau menjelaskan mana riwayat yang lebih kuat.
*Peresensi adalah Ahmad Suhendra, alumni PP. Al-Kamiliyyah dan Partisipan TBM Yayasan Kodama.

Komentar

Unknown mengatakan…
selamat membaca,,