Judul Buku : Pergeseran Epistemologi Tafsir
Penulis : Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xi+178 Halaman
Penulis : Dr. H. Abdul Mustaqim, M.Ag.
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : xi+178 Halaman
Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar
bagi Nabi Muhammad saw. sekaligus menjadi “jalan” hidup umat manusia
(QS. Al-Baqarah: 185). Al-Qur’an juga menjadi pedoman kaum muslimin
dalam menuntaskan masalah yang terjadi pada tatanan kehidupannya, baik
pada saat al-Qur’an itu diturunkan maupun sekarang. Agar makna dan
tujuan yang terdapat dalam al-Qur’an tersalurkan, walaupun tidak dapat
sepenuhnya secara sempurna, maka perlu adanya proses penafsiran sebagai
alatnya.
Cukup beralasan, karena al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang
disampaikan kepada manusia. Secara esensial, al-Qur’an berasal dari
Tuhan, sehingga makna “original” hanya diketahui oleh Tuhan. Akan
tetapi, meskipun demikian, manusia dapat menggali makna-makna tersebut
dengan potensi yang dimilikinya dan dari petunjuk-petunjuk serta
isyarat-isyarat atau simbol-simbol yang ada.
Proses penafsiran ini dimulai pada masa
Nabi Muhammad saw., artinya proses penafsiran sudah dilakukan semenjak
al-Qur’an itu diturunkan. Proses penafsiran yang terjadi pada masa Nabi,
terdapat beberapa, yang didasarkan atas ketidaktahuan para sahabat.
Yakni, setiap para sahabat tidak memahami suatu ayat yang telah
diturunkan, sahabat langsung menanyakan kepada Nabi saw. mengenai maksud
dari ayat tersebut.
Bentuk penafsiran yang dilakukan Nabi saw. hanya
sebatas sesuatu yang ditanyakan para sahabat. Sehingga bentuk tafsir
pada masa Nabi saw. masih bersifat ijmali (global) serta belum dirumuskan metodologi tafsir secara sistematik. Periode ini berakhir bersamaan wafatya Nabi Muhammad saw.
Setelah Nabi Muhammad saw. wafat,
penafsiran al-Qur’an dilanjutkan oleh para empat sahabat besar. Tafsir
pada periode sahabat masih terisolasi penafsrian pada masa Nabi saw,
yakni mengutamakan terhadap tokoh-tokoh sahabat besar. Periode sahabat
melahirkan para penafsir dari golongan sahabat, diantaranya, yaitu Ibnu
‘Abbas ra. (yang memelopori madrasah al-tafsir di Makkah), Ubay bin ka’ab ra. (yang memelopori madrasah al-tafsir di Madinah), Abdullah Ibnu Mas’ud ra. (yang memelopori madrasah al-tafsir di Kuffah), dan sebagainya.
Perkembangan tafsir pada masa tabi’in tidak jauh berbeda dengan perkembangan pada masa sahabat. Karena tabi’in merupakan murid yang belajar dari para sahabat. Sehingga para tabi’in
berpegang pada sumber-sumber yang ada pada masa sahabat, sebagai
pendahulunya. Namun terdapat sedikit perbedaan dengan periode
pendahulunya, yakni masa tabi’in sudah muncul sektarian aliran-aliran tafsir dan tafsir berdasarkan kawasan yang tidak terjadi atau muncul pada masa sahabat(hal. 53). Pada periode ini muncullah para mufasir
terkenal, seperti Said bin Jubair, Zaid bin Aslam, Al-aswad ibnu Yazid,
dan sebagainya. Tafsir pada periode Nabi samapai permulaan tabi’in merupakan kategori tafsir pertama atau qabla tadwin.
Kemunculan aliran-aliran tafsir pada periode tabi’in ini menimbulkan kekhawatiran dikalangan para mufasir itu sendiri. Berangkat dari kekhawatiran al-Qur’an akan ditafsirkan dengan semuanya sendiri, akhirnya para ulama pasca masa tabi’in
mulai “menyusun” sistematika ilmu tafsir. Sehingga tafsir mulai
berkembang menjadi ilmu yang memeiliki kriteria-kriteria serta
syarat-syarat khusus untuk dapat menafsirkan al-Qur’an.
Syarat-syarat
khusus bagi para mufasir merupakan, salah satunya, tujuan agar
al-Qur’an tidak ditafsirkan secara “sembarangan” tanpa adanya aturan
yang membatasinya. Selain itu juga agar pesan-pesan yang terkandung di
dalam al-Qur’an benar-benar tersampaikan untuk kemaslahatan umat
manusia, tanpa adanya kepentingan idiologi, superioritas, ataupun
politik.
Pada dasarnya tafsir merupakan suatu ilmu
yang sangat teknis, mulai cara membaca sampai pada memahami
kandungannya. Karena al-Qur’an bukanlah suatu kitab yang berbentuk
tulisan biasa yang langsung diambil atau dipahami secara literal. Namun
Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang tentunya terdapat maksud dan tujuan
tertentu dibalik teks-literal tersebut. Oleh sebab itu perlu adanya
proses penafsiran secara terus-menerus, agar sesuai dengan waktu dan
wilayah (shalih li kulli zaman wa makan) itu “terwujud” dalam konteks saat ini (modern-kontemporer).
Dalam perjalanannya, tafsir “dihadapkan”
dengan realita yang selalu berbeda pada setiap waktu dan tempat.
Sehingga perlu adanya proses penafsiran ulang atas sebagian karya
tafsir-tafsir klasik. Artinya penafsiran tidak hanya difokuskan dalam
wilayah kebahasaan, ibadah, hukum, dan hala-hal yang menyangkut agama.
Akan tetapi, diharapkan hasil karya penafsiran itu dapat memberikan
jawaban atas masalah yang dirasakan oleh masyarakat saat ini. Misalnya
saja problem kemiskinan yang melanda sebagian Negara, terlebih Negara
muslim, yang ada di muka bumi ini.
Jika tafsir tidak dikemas ulang maka akan
terjadi, meminjam istilah penulis, pemaksaan terhadap kontekstual ke
dalam al-Qur’an. Sedangkan Al-Qur’an diturunkan bukan berdasarkan atas
sesuatu yang hampa sosio-historis. Akan tetapi, dilatarbelakangi oleh
suatu kondisi sosio-historis dan permasalahan-permasalahan yang terjadi
pada saat diturunkannya. Sarat dengan suatu kondisi yang terjadi saat
itu merupakan “respon” dan jawaban Tuhan terhadap bebagai problematika
yang terjadi saat itu (dan suatu jawaban atas problematika yang akan
terjadi).
Memang kebenaran al-Qur’an merupakan
suatu yang mutlak dan tidak dapat diganggu-gugat, tetapi setelah
ditafsirkan dan melahirkan penafsiran. Dan kebenaran hasil penafsiran
itulah bersifat relatif, sehingga perlu ditinjau ulang ataupun
dikritisi secara ilmiah. Karena aspek sosio-politik dimana mufasir itu berada dan hidup, sangat mempengarui dalam menafsirkan al-Qur’an. Perihal ini merupakan suatu gambaran bahwa mufasir
klasik juga menyesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang terjadi
pada saat itu. Ketika hasil penafsiran (klasik) itu sudah kurang relevan
dengan masa sekarang, tetapi disisi lain tafsir harus dapat dijadikan
agen bagi perubahan masyarakat manuju transformasi umat (hal. 12). Maka
tidak berlebihan jika dikatakan, perlu adanya rekonstruksi, meminjam
istilah Muhammad In’am Esha, rethinking dalam epistemologi tafsir.
Dalam buku ini penulis meyuguhkan
beberapa tawaran yang cukup menarik dan ilmiah, salah satunya, suatu
penafsiran mesti mengungkapkan ideal-moral yang terkandung dalam
al-Qur’an. Sehingga, dengan upaya tersebut dimaksudkan, penafsiran
al-Qur’an dapat menjawab dan, bahkan, menjadi problem solving
bagi manusia. Meskipun tawaran tersebut bukan hal yang baru dalam wacana
akademik. Akan tetapi dalam konteks ke-indonesia-an cukup menarik untuk
disimak dan diimplementasikan dalam ranah tafsir Indonesia.
Patutlah kiranya buku ini dibaca,
terutama bagi yang “berhasrat” dalam bidang tafsir dan menginginkan
adanya “revolusi” dalam out-put suatu penafsiran, terlebih dalam
“suasana” ke-indonesia-an. Untuk menmukan problem solving, lewat
pengkemasan “baru” penafsiran, dalam al-Qur’an mengenai problematika
yang terjadi selama ini di Indonesia maupun di dunia. Selain itu, yang
perlu dipertimbangkan adalah, penjelasan dan tawaran-tawaran yang
diberikan oleh penulis disajikan dengan lugas dan jelas.(*)
Komentar
http://risingsandhy.blogspot.com/